Semenjak memutuskan untuk menjadi fulltime ibu rumah tangga yang tetap bekerja di rumah aja, ga mudah untuk membiasakan diri dengan kehidupan pasca mempunyai suami. Hal yang jadi ketakutan saya adalah jika belum punya skill masak.
Yap, saya dan suami memang masih
tergolong pasutri baru. Alhamdulillah kami sudah melangsungkan resepsi
pernikahan sederhana di masing-masing domisili saat masih lajang, saya di Duri
dan suami di Solok pada bulan Syawal tahun 2022 ini.
Cerita Sebelum Menikah
Kalau boleh sedikit bercerita,
saat masih lajang saya bekerja sebagai guru mapel di salah satu yayasan sekolah
islam cukup terkenal di Indonesia. Saya mengajar mata pelajaran IPA-Fisika di
SMP selama 2 tahun ajaran, 2020/2021 dan 2021/2022.
Duri, domisili saya saat itu juga
merupakan kampung halaman saya menyimpan kenangan indah bersama keluarga. Semenjak
usaha orangtua saya tidak menemukan titik terang disana, akhirnya keluarga kami
pun terpisah di 3 tempat. Saya di Duri untuk bekerja, adik kedua di Pekanbaru
masih dalam masa kuliah, dan ayah serta ibu ke Jawa Timur diikuti kedua adik
saya setelah menamatkan sekolah menengah mereka.
Singkat cerita, saya sendirian di
kota kelahiran saya. Aneh rasanya? Iya, saat orang-orang berkumpul memadu rindu
dan saling tawa di kampung halaman, saya dan keluarga harus terpisah ribuan
kilometer jauhnya. Sedih, tapi memang itulah proses kehidupan.
Karena hanya tinggal seorang
diri, saya mau tidak mau harus kembali pada kehidupan anak kos-an. Makan sendiri,
cuci baju sendiri, nonton sendiri, masak sendiri, sampai jalan-jalan ke mal
juga sendiri (ya, adakalanya saya
membutuhkan healing dengan pergi menghabiskan sisa gajian di tanggal tua).
Dari semua aktifitas yang saya
sebutkan diatas, masak adalah hal yang buat saya enggan melakukannya. Tentu karena
beberapa alasan sehingga mengharuskan saya untuk menyediakan makan dengan cara
instan, yap beli makanan di luar.
Biar ga salah paham, saya jabarin
dulu alasan saya memilih untuk beli makanan di luar ketimbang masak sendiri.
1. Letak dapur yang pisah dengan rumah saya
Bukan, bukan dapur yang letaknya
di belakang rumah seperti jaman dahulu ya. Coba saya gambarin dulu dari
penjelasan ini.
Halaman rumah saya cukup besar;
ada rumah saya, 1 rumah kakek yang dempet dengan 1 kontrakan, dan 1 garasi mobil
yang bisa dijadikan warung kecil-kecilan, sisa halamannya bisa diisi 3 mobil,
jadi cukup luas. Jarak rumah saya dengan rumah kakek dipisahkan oleh 1
kontrakan ini.
Di rumah saya wujud dapur itu ada,
tapi ya dapur-dapuran alias ga ada kompor, peralatan masak, apalagi bahan
dapur, semuanya nihil. Biasanya kalo ada ibuk saya, ya masaknya di rumah
sebelah, di rumah kakek jadi sekalian masak untuk kakek nenek waktu itu.
Semenjak orangtua pergi merantau,
nenek meninggal dan kakek dibawa anaknya ke luar kota, alhasil saya sendirian
di rumah. Rumah yang awalnya ga kerasa luas, tapi karena sendiri jadi berasa
luas banget. Apalagi untuk memasak ke rumah sebelah yang jaraknya ‘cukup jauh’,
buat saya tambah bergidik ngeri.
Jadi daripada harus ke rumah
sebelah untuk masak, ya mending beli,
begitu pikir saya waktu itu.
2. Waktu mepet untuk memulai masak
Seperti yang sudah saya sebutkan
diawal, saya bekerja di salah satu sekolah swasta yang mana jam kerja dari
pukul 7-4 sore. Kadang-kadang tiba di rumah jam 5 sore. Setiba di rumah hal
pertama yang saya lakukan adalah berbaring, ya mau bagaimana lagi, energi sudah
habis tercurahkan di kantor. Jadi ketika melihat kasur, wah saya senang sekali
rasanya.
Karena rasa capek dan letih
itulah saya memilih untuk tidak masak. Sebenarnya jika dipikir-pikir, saya
pasti akan hemat puluhan ribu rupiah untuk membeli makanan. Tapi saya ga mau
ambil resiko.
unsplash |
Kalau untuk stok makanan,
biasanya saya pergi belanja mingguan ke pasar di hari Minggu pagi. Awalnya saya
bertekad untuk bisa masak dengan buat menu makanan dan mendaftar bahan-bahan
apa saja yang akan dibeli guna efisiensi waktu, namun hasilnya zonk. Saya mampu
bertahan memasak hanya 2-3 hari saja karena sudah letih dengan aktifitas
kantor.
3. Trauma masa lalu
Sebenarnya alasan ini dibuat-buat
sih, ga terlalu besar pengaruhnya karena hanya saya sendiri yang mencicipi
makanan pada waktu itu, toh saya
sendirian saja di rumah.
Jadi ceritanya saya diminta tante
untuk mengambil daun kunyit ke belakang rumah kakek, tapi yang saya ambil justru
daun serai, mirip soalnya hehe. Tante saya heran bin dongkol dong, yah. Dari situ, ketidaktahuan saya
diobrolin se-kakak beradik ibuk, memang buat lucu-luan tapi sedih aja, disepelein.
Tapi ga apa jadi pelajaran buat saya untuk kenal dengan rempah-rempah (sambil puk-puk diri sendiri).
Oh ya, cerita lainnya oleh adik
saya yang kuliah di bagian hotel khusus kitchen, saya lupa nama spesifik
jurusannya. Saat memasak masakan andalan dan termudah versi saya yaitu tumis
tahu, sempat dibilang tidak enak ketika dimakan oleh adik saya ini. Ya, auto mood down ya.
4. Saya tidak suka baunya
Bukannya sok bersih apalagi so
klin, eh maksudnya sok wangi. Mood saya bisa langsung berubah kalau mencium
aroma yang kurang sedap. Biasanya kalau sehabis masak, pasti ada aroma
makanannya nempel ke baju, kan? Karena bersentuhan dengan bahan baju, aroma
makanan yang harusnya bikin lapar jadi ga enak.
Apalagi kalo masak malam-malam,
saya paling anti. Inginnya sih tidur dalam keadaan bersih dan wangi tanpa aroma
apapun ya.
Cerita Setelah Menikah
Long short story, ibuk saya
pernah bilang seperti ini ‘coba kamu belajar masak, nanti kalau udah punya
suami gimana, ga mungkin beli terus’. Saya sih ga ambil pusing, banyak kok
resep-resep di Youtube yang bisa diadopsi asalkan mau mencoba.
Setelah menikah dan punya suami,
mau tidak mau saya harus memikirkan menu makanan untuk hari itu. Kalau soal
goreng menggoreng saya bisa, tapi untuk menu varian lain saya mundur dulu. Suami
memang menyukai makanan yang digoreng, tapi doi ga anti non goreng. Kalau saya
setiap hari harus gorengan mulu, ya saya bosan dong. Mulai dari sinilah peran Youtube
sangat saya rasakan.
Nah, dari hasil mengulik Youtube
masakan, saya rasa skill memasak dari seorang Ullya Muflihatin pun meningkat. Ternyata
memasak untuk orang yang tersayang dan direspon baik itu bisa juga jadi terapi,
buktinya udah saya rasakan. Saat dipuji enak oleh suami, ada rasa semangat
untuk masak keesokan harinya.
Jadi inilah sisi lain dari
memasak yang saya rasakan saat menjadi seorang istri.
1. Pemecah suntuk
Menjadi fulltime ibu rumah tangga memang gampang-gampang susah. Ada saat
dimana kita letih kemudian bingung mau ngapain setelah menyelesaikan seluruh tugas rumah. Untuk badan yang terbiasa bergerak seperti
saya, ada rasa geram-geram tersendiri.
Apalagi saat punya segelumit ide
di kepala, tapi bingung yang mana mau dieksekusi lebih dulu, rasanya kepala panas
dan mau pecah. Nah, kalau kondisinya sudah seperti ini saya lebih sering untuk
memulai masak, entah masak makanan berat atau sekedar cemilan.
Beberapa kali saya rasakan, saat
suntuk datang kemudian memilih masak, ternyata manjur juga. For your information, saat saya menulis
tulisan ini, saya baru selesai masak menu makan siang setelah kepala panas
karena banyak tulisan yang ingin saya buat dan bingung mau eksekusi yang mana
dulu.
2. Memicu sisi kreatifitas yang tersembunyi
Saya akui memang tidak se-kreatif
tante saya yang bisa masak dengan bahan apapun di rumah walaupun isi kulkas
minim. Untuk menyiasati hal itu, biasanya saya membuat daftar menu apa yang
akan dibuat untuk seminggu kedepan. Dengan itu saya tau apa-apa saja yang akan
saya beli dan budgetnya berapa, meal plan
orang-orang kini menyebutnya.
unsplash |
Dalam membuat meal plan tersebut, disinilah
kreatifitas saya diuji. Mulailah saya searching
di Youtube olahan makanan apa saja yang bisa dibuat dengan bahan yang saya dan
suami suka. Contohnya ayam, karena suami suka makanan yang berbau gorengan dan
saya bosan dengan itu, saya cobalah untuk mencari alternatif olahan ayam dengan
tetap berpegang pada salero Padang, ya saya dan suami orang minang.
Dengan metode ulik tadi, ternyata
membangkitkan sisi kreatifitas lainnya pada diri sendiri, baru sadar ini setelah menulis.
Saya bisa menghasilkan berbagai masakan dari satu bahan utama, misalnya ayam. Setiap membersihkan ayam saya bagi 2 untuk dibuat sup dan menu lain. Biasanya untuk sup khusus pertulangan. Menu lainnya bisa saya olah menjadi ayam goreng, ayam bumbu, ayam rica-rica, ayam woku-woku, kadang juga dibuat tumis pakai buncis ala-ala restoran.
Kesimpulan
Benar kata orang bahwa menikah bukan menyelesaikan masalah, tapi masalah yang dihadapi bisa ditemukan solusinya bersama. Dari pengalaman memasak selama 4 bulan menikah, saya yang awalnya tidak suka masak jadi harus belajar terus dan akhirnya menemukan sisi lain dari memasak.
Saya tidak menyangka bisa
menghasilkan berbagai macam menu yang sebelumnya tidak pernah dirasa apalagi
dibuat. Saya pikir, perubahan ini adalah salah satu berkah yang Allah hadiahkan
kepada diri saya ketika memutuskan untuk menikah.
Jadi, tidak perlu risau dengan kata orang bahwa sebelum menikah harus pandai masak dulu. Niat utama yang terpenting, kalau sudah baik dari awal insyaAllah kedepannya juga dimudahkan. Sudah banyak media belajar untuk para gadis yang suka instan-instan seperti saya ini hehe.
Posting Komentar
Posting Komentar